Di usia tingkat SD nya, Rifana tergabung pada sebuah SD ternama di kotanya. Teman-temannya nyaris tidak terlihat datang ke sekolah datang dengan sendirinya. Di pagi hari 07:20 WIB hiruk pikuk kendaraan pribadi saja yang hilir mudik di depan gerbang sekolahnya, dengan senyum dan tawa serta cium pipi kiri dan kanan tiap anak yang masuk ke dalam gerbang sekolah.
Namun beda halnya dengan Rifana, dia hanya seorang siswi yang polos dan pendiam, tanpa banyak tawa dan canda. Hari-hari di kelasnya, Rifana tetap mengikuti pelajaran dengan baik tanpa ada masalah apapun yang mengusik orang tuanya.
Orang tuanya tidak pernah mendapat laporan atau cerita-cerita kecil apapun yang dilontarkan Rifana dari mulut kecilnya. Dan mereka pun tidak pernah menanyakan hal apapun.
Di dalam kelas di bangku nomor barisan keempatnya, Rifana duduk mengikuti pelajaran dan bel istirahatpun telah memberi isyarat. Rifana duduk di luar kelas bersama dengan teman-teman lainnya. Ya... seperti hari-hari biasanya, Rifana tertuju pada cemilan-cemilan temannya yang mengumpulkan air liur disela-sela lidahnya. Cemilan-cemilan itu asing bagi lidah Rifana yang mungkin tidak pernah diperkenalkan oleh kedua orang tuanya.
Rifana hanya dari keluarga yang tergolong sederhana, 6 saudara kandungnya masih dibangku pendidikan semuanya. Rifana hanya tahu setiap paginya, Ibu sibuk dengan pembagian uang saku dan transportasi untuk anak-anaknya. Cukup tidak cukup itulah rezeki yang kami punya.
Rifana tidak seceria anak-anak lainnya, namun hari-hari terus berlalu dan terlewati hingga Rifana meranjak ke tingkat SLTP.
Tidak jauh dari bangunan Sekolah Dasarnya, dijumpailah bangunan SLTP Rifana. SLTP yang julukannya ya sama dengan Sekolah Dasarnya "SLTP favorit". Ya... lagi-lagi aku tergabung di sekolah yang ternama di kotaku.
Aku memulai hari sekolahku dengan penuh semangat dengan suasana baru dan dan teman-teman baru.
Aku begitu semangat karena aku masuk ke kelas yang tergolong siswa-siswa inti. Hari-hariku kulalui dengan ceria aku merasa ada kecocokan dengan teman-teman yang perekonomiannya tidak begitu berbeda dengan keluargaku. Ayahku yang seorang Pegawai Negeri Sipil dengan penghasilan yang pas-pasan dan ibuku seorang wanita tangguh yang menghabiskan hari-harinya bekerja di area persawahan, ibuku seorang petani.
Hari ini di kelasku ada siswi baru, seorang pindahan dari daerah Bengkulu. Dia seorang remaja yang cantik, ramah, dan bersahabat. Dia bernama Indi.
Ibu guru menempatkan dia untuk duduk di sebelahku, dia sebangku denganku. Seiring berjalannya waktu diapun menjadi teman akrabku. Sepulang sekolah bila ada acara para dewan guru yang kepulangan kami dipercepat dari waktu biasanya. Biasa akan mengajakku bermain terlebih dahulu ke rumahnya, yang jaraknya tak jauh dari gedung sekolah. Kami cukup dengan hanya berjalan kaki saja.
Di rumah Indi, Aku biasanya disuguhkan begitu banyak makanan, mulai dari lauk pauk, buah-buahan, hingga cemilan-cemilan yang tak biasa aku makan.
Menurut pandanganku Indi adalah anak orang berada yang tidak sombong dan sangat bersahabat. Tapi sayang aku dan Indi hanya dapat bersahabat selama 2 tahun, karena Ayah Indi harus pindah tugas lagi ke daerah lain. Ya itulah sahabatku yang sangat berkesan, entah kapan kami dapat berjumpa kembali.
Tanpa terasa sudah memasuki tahun ketiga aku aku di SLTP, aku merasa ada yang berbeda dalam diriku, tanpa kusadari diam-diam aku menyukai salah seorang teman lawan jenisku. Pria itu itu sangat menarik di mataku, hingga akhirnya beberapa teman dekatku mengetahui hal itu, merekapun sering meledekku hingga aku jadi salah tingkah. Kurasa itulah hal terindah di dalam hatiku, aku merasa sangat bersemangat dalam menjalani hari-hariku di sekolah, aku berdebar bila melihatnya, terlebih lagi bila dia menyapaku.
Rasa-rasanya aku terbang di udara.
Oh, Tuhan... rasa apakah ini?
Apakah ini ini seperti materi yang pernah disampaikan oleh bapak guru, yang dikenal dengan kata puber, yaitu itu masa peralihan dan anak-anak menjelang dewasa. Yang penting apapun itu aku Aku cukup bahagia dengan semua rasa yang ada. Rasa itu itu terus ku pendam hingga kami selesai di SLTP dan berpisah satu sama lainnya.
Kini aku berada di jenjang berikutnya. Aku lagi dan lagi berhasil menerobos masuk ke sekolah SLTA terfavorit di kotaku. Aku sangat bahagia.
Sedari dahulu aku impi-impikan untuk dapat bergabung di sekolah itu. Aku teringat bila melewati sekolah itu itu dan melihat seragam batiknya di hari Jumat dan sabtu, aku sangat menyukainya. Aku ingin sekali memakai seragam batik itu suatu saat. Alhamdulillah impianku tercapai. Aku berhasil lulus tes tanpa adanya dampingan dari ibu atau ayahku, bahkan kakak-kakakku, semua aku urus sendiri. Tetapi walau bagaimanapun aku tahu bahwa doa orang tua selalu ada untukku, dengan ridhanyalah sehingga aku mencapai impianku.
Semester pertama tingkat SLTA mulai kujalani. Seperti yang sebelumnya suasana baru dan teman baru. Hari-hari kulalui dengan begitu banyak buku-buku aku dan tugas-tugas sekolahku. Mau tidak mau itulah makananku ku yang harus kutelan agar aku dapat bersaing dengan teman-temanku yang lain, aku benar-benar harus extra belajar agar tidak mengecewakan orang tuaku, terutama ayahku.
Ayah adalah seorang figur bapak pak yang tegas, tanpa kompromi yang Ayah tahu u aku harus dapat menunjukkan hasil dengan nilai-nilai yang yang memuaskan. Sedari aku SLTP ayahku sudah mulai dengan jelas memperlihatkan hal itu. Sewaktu SLTP aku lemah dipelajaran Bahasa Inggris sehingga Ayah Mengundang guru privat untuk menambah kemampuanku.
Aku rutin menjalani pembelajaran tambahan itu hingga sampai di jenjang SLTA pun aku aku harus tetap mengikutinya.
Hari-hariku ku ku lalui dengan terus dan terus belajar tanpa kompromi. Di hari malam libur pun Ayah menyita kebebasan masa remajaku untuk bersantai sejenak, aku harus tetap privat. Hingga di kampungku aku dijuluki si kutu buku oleh teman-teman sebayaku. Hatiku terkadang menolak, melawan, bahkan menangis, tapi aku tak berani untuk bernegosiasi, aku takut dengan ketegasan ayah. Tidak seperti beberapa apa saudara ku aku yang berani menentang ayah.
Ini sudah di tahun kedua SLTA aku, aku dan teman-temanku aku sudah mulai melirik jenjang universitas aku berkeinginan untuk menjadi di seorang mahasiswi, Aku ingin kelak menjadi seorang yang berkarir. Aku tidak ingin nasibku ku kelak sama seperti gadis-gadis pada umumnya di kampungku menjadi seorang petani.
Ya, sama seperti Ibuku seorang petani, aku sadar bahwa biaya hidupku dan saudara-saudaraku berasal dari cucuran keringat ibu di profesinya sebagai petani. Tetapi aku pun sadar betul bahwa aku tak sanggup untuk di profesi itu, aku membantu ibu di tengah padang sawah dengan terik mentari yang menyala-nyala. Aku lelah, aku letih, Tapi demi baktiku pada ibu aku tetap tersenyum dan terlihat ceria. Aku ikhlas ibu, tulus membantumu tapi di hati kecilku aku bertekad " Ya Allah tuntunlah Aku untuk masa depanku, agar aku dapat membahagiakan ibuku, amin".
Tahun ketiga SLTA aku telah tiba aku mulai serius untuk arah Universitas ku. Ayah terus memantau ku dengan ketegasannya yang semakin membidik ku. Ayah memberikan ultimatum ultimatumnya nya padaku. " Jika kamu ingin ke jenjang universitas, bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan universitas negeri Jika kamu tidak mampu dan gagal jangan pernah bermimpi untuk universitas swasta, Ayah tidak mampu ".
Darahku bergetar, nafasku terasa sesak berhembus, yang terbayang dibenakku aku akan menggeluti profesi ibu. Ultimatum ayah mengecohkan fikiranku. Ayah menentukan arah perkuliahanku, aku harus kuliah di keguruan sementara aku sangat tidak suka itu. Aku berkeinginan di kesehatan. Sedari lulus SLTP aku sudah berkeinginan di kesehatan dan aku sempat mencoba mengikuti tes masuknya, namun aku gagal. Kini aku ingin mengulang impianku untuk bisa masuk ke Universitas Kedokteran. Namun Ayah tetap menghalauku dengan alasan aku adalah seorang wanita yang lebih mulia bila menjadi seorang guru. Kelak aku berumah tangga aku akan dapat mengurus keluargaku walaupun aku bekerja, itulah alasan Ayah. Mendengar itu aku tetap membisu dengan kata-kata di hatiku untuk tetap memilih keinginanku.
SLTA pun berakhir.....
Ayah mengirimku untuk pemantapan kemampuanku mengikuti bimbingan belajar di luar kota. Aku dan 2 orang temanku menghabiskan waktu 3 bulan untuk bimbingan itu. Disana aku diawasi salah seorang kakakku yang sudah duluan duduk dibangku universitas yang akan aku masuki nantinya jika aku berhasil lulus. Kakak terus Setia membimbingku dengan memantau kemampuanku hingga akhirnya Kakak bisa tahu kalau aku harus memilih Fakultas keguruan pada universitas tersebut jika ingin berhasil lulus. Karena skor kemampuanku tidak pernah melewati untuk ke Fakultas Kedokteran. Melihat dan merasakan kenyataan itu akupun mulai menyadari "Ya Allah, apakah ini kekuatan doa-doa ayah dan ibu aku menuju arahannya".
Sadar akan hal itu akupun menuruti nasehat dan arahan kakakku.
Bismillah, aku mengikuti tes Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dengan hikmat dan tenang. Kakak tetap setia mendampingiku selama tes berlangsung. Tibalah saat yang dinanti-nanti akan diterbitkan di harian kota pengumuman hasil tes UMPTN tersebut.
Alhamdulillahirabbila'lamin aku lulus di pilihan restu ayah dan ibu. Aku lulus di Perguruan Tinggi Negeri di Fakultas Keguguran.
Aku seorang mahasiswi, ya... kini Aku telah menjadi seorang mahasiswi. Aku mulai harus mandiri jauh dari ayah dan ibu dan mengurusi semua sendiri tanpa pengawasan langsung dari ayah ayah dan ibu. Hanya ada seorang kakak yang menjadi saudaraku di luar kota yang jauh dari ayah dan ibu bila dengan perjalanan darat memakan waktu lebih kurang 10 jam perjalanan. Hanya satu pesan ayah yang selalu menjagaku "jangan pernah tinggalkan lima waktumu". Bahkan dulu bila aku pulang sekolah Ayah selalu bertanya apakah kamu sudah shalat, yang mungkin berbeda dengan sebagian orang tua biasanya bila anaknya baru pulang sekolah akan menanyakan apakah kamu sudah makan Nak.
Kakak menempatkan aku di suatu tempat tinggal baru yang tak jauh dari kampusku dan dan tak jauh juga dari tempat tinggal kakak. Aku mulai mengurusi diriku sendiri, mulai dari pakaian, makanan, hingga keuangan. Aku merasa seorang yang paling bebas terlepas dari tegasnya peraturan ayah yang biasa kualami. Kapan dan kemana saja aku mau tak ada satupun yang menghalauku. Aku merasa sebebas burung yang terlepas dari sangkarnya.
Kini aku sudah di semester 3, Aku mulai tidak betah dengan tempat tinggalku, Aku ingin suasana baru. Aku berpindah ke tempat yang lebih dekat dengan kota. Aku mendapat suasana baru dan teman baru yang jauh berbeda dari teman sebelumnya. Tempat baru ini penuh warna, mulai dari warna terang hingga kegelapan.
Aku dikelilingi dengan teman-teman yang bebas sesuka mereka dalam segala hal. Terutama di bidang ibadah, mereka tidak merasa gelisah atau bersalah untuk meninggalkan 5 waktunya. Mereka bangun pagi sesuka hatinya tanpa menghiraukan kewajiban yang terlewati saat mentari terbit. Aku terbangun dalam keheningan pagi tanpa ada satupun yang menyamai. Aku terheran namun tak mampu bergumam karena itu bukanlah hakku. Aku merasa mereka cukup tahu benar atau salahnya sesuatu.
Seiring berjalannya waktu aku mulai terpancing dengan keadaan itu, aku mengikuti gaya mereka. Aku melalaikan waktuku walau adzan subuh begitu jelas di telingaku. Aku lelap dengan selimut lembutku.
Tiga hari aku lalai kan waktu fajarku, namun dalam sekejap aku tersentak dan tersadar "ada apa dengan diriku?". Tiga hari di pagi hari kupendam kecemasan di dalam diriku, kupaksa kupaksakan ketenanganku dalam kegalauan, kubiarkan aku larut dalam kegelisahan. "Oh Tuhan, ampuni aku, hambaMu yang mencoba menjauh darimu". Terhempas aku dalam kesedihan memohon ampun pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ternyata baru kusadari lima waktu inilah senjata yang ditanamkan ayah dan ibu di dalam diriku. Aku menjadi terarah karenanya dan aku tertuntun saat akan terbuai dalam dosa.
Pagi ini aku mempersiapkan diri lebih awal, dari semalaman aku mempersiapkan diri untuk ujian akhir semester lima ini. Aku berangkat pagi hari dan pulang disaat mentari menyengat.
Ya... Aku lelah sekali hari ini, untungnya ujianku berjalan lancar tidak sia-sia aku rajin mengulang selama ini. Di tengah teriknya mentari aku hanya teringat ranjang dan sumber angin pelepas penatku. Aku ingin segera sampai di kos-kosanku. Selesaikan 5 waktuku dan merebahkan diriku untuk rehat sejenak. Akupun terbaring dan terlelap, namun tiba-tiba ponselku berdering dan akupun mengambilnya dan menjawab panggilan. Namun tidak ada balasan hanya diam. Kurebahkan diriku dan mulai terlelap, namun seketika lagi dan lagi ponselku berdering dan terulang hal yang sama. Hal ini berulang hingga 3 kali dan mengusik jatah rehat ku. Akupun terpancing dengan emosi yang datang menghampiriku dan mengoperasikan ponselku. Sehingga terjadilah perbincangan melalui ponsel dengan lawan bicara.
Aku: "halo, Apakah anda orang kampung? ya. orang kampung yang baru memiliki ponsel dan tidak tahu cara mengoperasikannya!"
Tersangka:"halo, maaf, apakah nomorku mengganggu kamu sebelumnya?"
Aku: (dengan nada keras dan ketus)
"Ya! Nomormu mengusikku berulang-ulang dan diam tanpa ada jawabannya, dasar kampungan! "
Tersangka: (dengan nada lembut dan penuh kesopanan).
"Maaf, kini aku paham, berarti temanku telah mengganggu kamu dengan menghubungi nomor ponselmu"
Aku: (tetap ketus)
"Oh ya! Siapa nama temanmu?"
Tersangka: "namanya Ridwan".
Aku: "siapa Ridwan itu? Aku tidak mengenalnya! Ya Sudahlah, makanya ponsel jangan milik umum, bebas dipegang siapa saja!"
Aku pun menutup ponselku dengan seketika tanpa basa-basi dan akupun kehilangan nafsu rehatku saat itu.
Di malam harinya aku dikejutkan dengan suara ponselku. Aku menjawabnya dan aku tersentak seketika, kudengar nada suara yang persis di siang hari tadi. Ya nada suara yang tidak begitu indah di telingaku.
Ternyata dia menelepon ingin meminta maaf kembali karena merasa tidak nyaman dengan semua intonasiku di siang tadi. Dengan sedikit bicara panjang akupun memaafkannya dan kamipun berkenalan melalui udara.
Dia menyebutkan namanya "Ray". Aku pun menyebut Namaku "Rifana. Selanjutnya kami saling memperkenalkan kampus yang ternyata sama, hanya saja jurusan yang berbeda.
Aku meletakkan sedikit kebohongan dalam perbincangan kami. Aku tidak mengatakan berada di keguguran karena bidang itu tidak begitu ngetren pada masa itu. Aku menyebutkan bidang lain yang ternama. Namun aku tertegun dengan kejujuran dan kepolosan yang kudapatkan dari perbincangan melalui udara itu. Dia begitu jujur akan bidangnya yang bagi kami bidang itu sangatlah tidak keren untuk patokan seorang cowok pada masa itu. Namun Ray begitu pede dengan kejujurannya.
Beberapa malam terlewati, Ray dan Rifanapun selalu berbincang melalui udara. Hingga pada seketika Ray ingin berjumpa langsung di lingkungan kampus. Aku pun menyetujuinya.
Keesokan harinya, aku dan teman mengatur strategi untuk bertemu. Tetapi Ray tidak akan melihat Rifana yang sebenarnya. Cukup Rifana saja yang akan melihat sosok Ray. Seperti apakah Ray dan pesona wajah serta fisiknya.
Strategipun berjalan mulus, walaupun akhirnya Ray juga melihat Rifana yang sebenarnya.
Aku tidak tertarik pada Ray saat itu, bagiku Ray bukanlah tipe idamanku. Namun ada teman yang memberikan harapan manis padaku, mereka mengatakan sosok Ray ini memiliki kendaraan pribadi yang ngetren pada masa itu dan satu temanku yang lain mengatakan dia mengenal sosok Ray. Di sisi lain aku suka dengan kalimat temanku, "Jangan dekati si Ray, dia terlalu baik untuk kamu sakiti".
Wow, Dahsyat sekali argumen temanku yang satu ini. Sebegitu baikkah sosok Ray bila dibandingkan dengan diriku yang mereka lihat sering mengenal beberapa teman laki-laki di kampus. Akupun semakin penasaran walau sebelumnya Ray tak masuk ke dalam hatiku saat jumpa pertama.
Ku perpanjang rasa penasaranku, ku kirimkan pesan singkat ke ponselnya dan diapun membalasnya. Terus dan terus ku kirimkan pesan singkatku yang terkadang ku sengajakan untuk mengusik hatinya. Akupun selalu mendapat balasan manis darinya. Hingga pada satu waktu dimalam yang ditunggu-tunggu para kaula muda yaitu malam minggu. Aku mengusiknya dengan pesan singkatku dan bertanya tentang keberadaannya.
Oh, aku kecewa. Kali ini aku kecewa dengan kiriman balasannya, yang biasanya manis, namun kali ini pahit yang kurasa. Dia mengatakan sedang bersama teman wanitanya di malam itu.
Aku terkejut dan kecewa, ya... aku merasa kecewa. Namun aku merasa heran dengan diriku dan bertanya-tanya, "mengapa aku harus kecewa, mengapa ada unsur cemburu dalam kekecewaan ini. Ada apa ini?"
Ya, tetapi inilah yang ku dapati. Ternyata dia telah memiliki kekasih hati. Hingga ku putuskan untuk tak lagi mengirimkan pesan singkatku padanya. Aku akan melupakan sesuatu yang singkat ini secepatnya.
Beberapa hari berlalu tanpa ada yang istimewa di ponselku. Sudah beberapa bulan inipun tidak ada yang istimewa di dalam hatiku, aku belum menemukan kecocokan dengan seseorang yang pernah singgah di hatiku, hingga semua berakhir dan terlupakan.
Di suatu hari, dari hari-hari yang hening itu, tiba-tiba pesan singkat menghampiri ponselku. Aku terkejut tertulis nama Ray di kotak masukku. Mengirimkan sebuah kejelasan kepadaku bahwasanya di malam pengakuannya dengan teman wanitanya itu hanyalah kebohongan. Itu tidak benar adanya. Aku merasa bingung antara bahagia dan bertanya-tanya.
"Mengapa Ray menjelaskan semua ini? Apakah dia mengalami kegalauan dengan tidak menerima pesan-pesan singkatku lagi? "
Aku merasa bahagia dengan hal ini, dan kami berjumpa untuk pertama kalinya yang hanya ada Ray dan Rifana.
Kami berjumpa di lingkungan kampus tanpa ada teman yang saling menemani kami. Ini pertama kali kami jalan berdua, kami menikmatinya dan merasa bahagia yang sama. Aku pun tak tahu mengapa semua terjadi dengan sendirinya.
Seiring berjalannya waktu dan aku mulai mendalami karakternya. Aku menemukan ketenangan disampingnya, aku merasakan sosoknya akan membahagiakan ayahku di suatu saat nantinya. Aku kagum padanya dalam banyak hal. Dia yang selalu menjaga shalatnya, dia yang selalu mampu menetralkan amarah di dalam dada ini, dia yang selalu lembut berbahasa dan selalu setia mendampingi dalam setiap masalah yang ada. Aku sangat nyaman disampingnya.
Gelar mahasiswiku akan segera berakhir, aku akan menerima gelar baru sebagai seorang sarjana. Aku sibuk dengan tugas akhirku, Ray tetap setia mendampingiku dan membantu dalam setiap tugas-tugasku. Dia begitu perhatian denganku, Walau terkadang aku sulit mengontrol emosiku yang sering timbul tenggelam disaat aku mengalami kejenuhan. Namun dia tetap dapat menetralkanku. Semakin aku mengenalnya semakin yakin untuk mengakui bahwa aku sangat mencintainya. Ya... aku telah jatuh cinta padanya. Cintaku yang tulus ikhlas karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Sidang tugas akhirku telah digelar dan aku dinyatakan lulus dengan memuaskan. Raypun bergegas untuk segera menyusulku, karena tugas akhirnya masih dalam proses. Aku harus kembali ke kampung halamanku membawa gelar sarjanaku. Ray akan terpisah sementara dengan Rifana. Hanya 1 janji yang diberikan Ray untuk Rifana, bahwasanya dia akan segera menyusul dengan satu janji sucinya.
Alhamdulillah Raypun dapat menikmati kemegahan wisuda dengan gelar sarjananya.
Awalnya ibunda Ray sempat tidak menyetujui mereka untuk menuju pernikahan dengan alasan bahwa Ray belum mempunyai pekerjaan tetap.
Bertepatan dengan adanya kegiatan lomba siswa Ibunda Ray berprofesi guru berkunjung ke kediaman Rifana memperjelas ikatan antara Ray dan Rifana. Dan ayah Rifana meyakinkan bahwa dengan pernikahan akan membuka pintu rezeki. Ray menepati janjinya tanggal penetapan janji suci ikatan pernikahanpun telah ditetapkan. Ray dan Rifana resmi menggelar ikatan suami istri walaupun mereka dari suku yang berbeda.
Hari-hari terlewati dengan rutinitas mereka sebagai pak guru dan bu guru. Mereka sangat bahagia tanpa terasa 12 tahun telah terlewati bersama. Ray dan Rifana telah memiliki 2 Ray junior dan 1 Rifana junior. Inilah tugas yang akan mereka jalani membesarkan 3 buah hatinya yang Allah titipkan. Ya Allah... semoga menjadi keluarga yang Sakinah, mawaddah warahmah. Aamiin Aamiin ya Rabbal alamin. Sekian
PROFIL
MUHAMMAD RIDHA, S.Pd
saya ingin bisa menulis seperti ini
BalasHapusSegera dimulai menulisnya.. tuangkan apa yang terlintas.
HapusBila kita malas mengetik maka gunakan voice note pada google.
Caranya buka blog kita tambahkan entri baru lalu klik tombol microphone... ucapkan katanya pelan2 perhatikan tertulis nanti klik publikasi dan bila ada kesalahan ketikan lakukan edit.